Kamis, 20 Maret 2014

Saya ingin nulis tentang bahasa jawa, khususnya jawa "Bandhek" yang kebanyakan disalah artikan dan atau sengaja ada yg menyelewengkan maksud katanya demi tujuan tertentu . Di Blog atau di berbagai situs yang membahas varian bahasa jawa sepertinya banyak yang keliru mengartikan varian bahasa jawa yang satu ini. Ada yang mengelompokan bahasa jawa "Bandhek" ini sebagai kelompok bahasa ngapak, ada yang mengelompokan kedalam kelompok bahasa jawa timuran, ada yang mengartikan sebagai jawa pesisir dan yang lebih parah lagi,dalam tulisanya, mengelompokan sebagai bahasa jawa "orang pesuruh" atau budak dijaman kerajaan yg turun temurun digunakan masyarakat jawa pinggiran hingga sekarang seperti yang diangkat oleh Wikipedia. Kesalahan dalam mengartikan jawa "Bandhek" jadi terkesan merendahkan, bagi masyarakat jawa berdialek tertentu oleh sesama masyarakat jawa berdialek lain yang pada dasarnya dari akar yang sama. Kita semua tahu bahwa variasi bahasa jawa memang banyak. Secara garis besar atau ringkasnya, bahasa jawa bisa dibagi kedalam tiga varian bahasa yaitu bahasa jawa bagian timur, jawa bagian tengah dan jawa bagian barat yang semuanya sebenarnya telah mengalami perubahan dari bahsa aselinya yaitu bahasa 'Kawi'_yang sekarang sebagian besar masih digunakan oleh masyarakat jawa bagian tengah dan bagian barat seperti di daerah Bumiayu, Tegal, Brebes dan_ sekitarnya akibat proses akulturasi budaya. Masyarakat jawa dibagian timur mengalami proses akulturasi budaya dengan masyarakat madura,osing,tengger sehingga menghasilkan dialek jawa timuran yang bisa dilihat dg cara mengucapkan huruf dalam bahasa jawa seperti 'O' di ucapkan 'U', 'A' jadi 'O', 'I' jadi 'e' dan sebaliknya 'e' jadi 'i' dst. Maka didaerah yg termasuk dalam pengaruh ini sering terdengar huruf "O" seperti; "opo" yang menurut bahasa jawa aselinya/kawi "apa", "Jawa" akan diucapkan "jowo", "susila" akan diucapkan "susilo" dst. daerah yg termasuk dalam pengaruh akulturasi budaya madura ini adalah Jawa Timur dan Jawa Tengah bagian Timur yg meliputi Jogja, solo, semarang, hingga ketimur yg secara administratif masuk dalam wilayah jawa timur. Sedangkan "jawa tengahan" yang sering disebut sbg kelompok bahasa jawa "ngapak" yang meliputi daerah kebumen, Banjarnegara,Pemalang,Banyumas,Tegal,Brebes,Cilacap. Jawa 'Ngapak' ini sebenarnya bukan termasuk dalam kelompok jawa "Bandhek" seperti yang banyak orang bilang dan tulis. Menurut para pakar bahasa, sebagai bagian dari bahasa Jawa maka dari waktu ke waktu, bahasa "Ngapak" atau Bahasa Banyumasan mengalami tahap-tahap perkembangan sebagai berikut: Abad ke-9 - 13 sebagai bagian dari bahasa Jawa kuno Abad ke-13 - 16 berkembang menjadi bahasa Jawa abad pertengahan Abad ke-16 - 20 berkembang menjadi bahasa Jawa baru Abad ke-20 - sekarang, sebagai salah satu dialek bahasa Jawa modern. (Tahap-tahapan ini tidak berlaku secara universal) Tahap-tahapan perkembangan tersebut sangat dipengaruhi oleh munculnya kerajaan-kerajaan di pulau Jawa yang juga menimbulkan tumbuhnya budaya-budaya feodal. Implikasi selanjutnya adalah pada perkembangan bahasa Jawa yang melahirkan tingkatan-tingkatan bahasa berdasarkan status sosial. Tetapi pengaruh budaya feodal ini tidak terlalu signifikan menerpa masyarakat di wilayah Jawa bagian tengah yang kebanyak menggunakan bahasa "Ngapak" atau Banyumasan. Itulah sebabnya pada tahap perkembangan di era bahasa Jawa modern ini, terdapat perbedaan yang cukup mencolok antara bahasa Jawa bagian tengah dengan bahasa Jawa standar sehingga di masyarakat jawa bagian tengah timbul istilah "bandhekan" untuk merepresentasikan gaya bahasa Jawa standar, atau biasa disebut bahasa wetanan (timur). Ada banyak kekeliruan mengenai jawa "bandhek" diutarakan oleh banyak orang bahkan oleh seorang pakar budaya & bahasa jawa tengahan atau 'ngapak' atau Banyumasan, M. Koderi. Menurut beliau, kata bandhek secara morfologis berasal dari kata gandhek yang berarti pesuruh (orang suruhan/yang diperintah), maksudnya orang suruhan Raja yang diutus ke wilayah Banyumasan. Para pesuruh ini tentu menggunakan gaya bahasa Jawa standar (Surakarta / Yogyakarta) yang memang berbeda dengan bahasa Banyumasan. Ini salah besar dan yang ingin saya tekankan bahwa bahasa jawa " Bandhek" atau bandhekan tidak berhubungan dengar arti dari sebuah kata "gandhek" yang menjadi dasar dari kata "Bandhek". Akan tetapi merupakan sebuah istilah untuk orang2 yang berbahasa jawa yang tidak bisa/mampu melafalkan huruf "D" seperti pada umumnya masyarakat jawa yang biasanya dilafalkan oleh orang sunda yang tidak bisa mengucapkan huruf "D" ketika berbahasa jawa. seperti dalam pengucapan kata "Medal" (keluar) yang diucapkan oleh orang jawa akan berbeda cara melafalkan huruf "D"-nya jika diucapkan oleh orang sunda, maka akan jadi "Medal" seperti "D" dalam kata "Medhali" atau " Dodhol". Jadi, "D" yang diucapkan oleh orang jawa dengan "D" yang diucapkan orang sunda berbeda. Perbedaan huruf/suara "D" yang dicapkan oleh orang jawa dan sunda berkaitan dengan cara mengeluarkannya atau berkaitan dengan 'makhorijul hurufnya' kalau dalam istilah tajwid mah . "D" yang diucapkan orang sunda cara mengeluarkanya dengan menempelkan ujung lidah ke langit2 bagian mulut kita sedang "D" yg diucapkan orang jawa dikeluarkan dengan menggunakan lidah atas bagian tengah yg ditempelkan ke langit2 mulut dan inilah yang sebenranya yang melatarbelakangi terjadinya istilah "Bandhek". Nah, Kita semua sudah tahu, kan, apa itu "Bandhek"? . Maka dapat kita simpulkan bahwa bahasa jawa "Bandhek" merupakan hasil akulturasi budaya masyarakat jawa dibagian barat_yang scr administratif masuk dalam wilayah jawa barat_dengan masyarakat sunda yang hidup berdampingan scr harmonis dengan masyarakat jawa. Wilayah yang menggunakan bahasa jawa "Bandhek" ini adalah Cirebon dan Indramayu serta Karawang bagian utara atau pesisir. Kita semua tahu bahwa orang jawa itu pandai menyesuaikan diri atau beradaptasi, pandai menghargai orang lain, meski tinggi jumlahnya atau mayoritas dalam suatu wilayah atau tempat akan tetapi mereka tetap memiliki kemampuan untuk tetap menghormati orang lain. Berdasarkan fakta sejarah bahwa wilayah pesisir utara daerah jawa barat seperti Cirebon dan Indramayu dahulu dibuka oleh seorang utusan dari Majapahit yang bernama Raden Arya Wiralodra bersama pengikutnya. Karena hidup didekat daerah yang berpenghuni suku sunda, pasti akan bertemu dg masyarakat sunda dan lama kelamaan akan terjadi pertemuan adat atau budayanya juga. Masyarakat sunda yg mendengar kebesaran dan luasnya wilayah kekuasaan raja2 ditanah jawa beruasaha menghormati dan menghargai orang jawa yang datang ke wilayah yang berdekatan dengan wilayah mereka dengan menggunakan bahasa orang jawa namun itu tadi, tidak bisa melafalkan huruf "D" dengan sempurna. Begitu juga orang jawa yang suka bergaul dan terbuka serta memiliki kamampuan beradaptasi dan mau menghargai orang lain, tetap menghormati dan menghargai usaha orang sunda yang mau berusaha menggunakan bahsa jawa meski tidak bisa sempurna dengan mengikuti cara orang sunda mengucapkan bahasa jawa, akhirnya timbulah dialek jawa "Bandhek" Diringkas lagi, kalau sekarang ada yg mengaku "Saya orang Jawa Murni" itu bohong karena seluruh jawa diwilayah manapun dizaman sekarang telah mengalami perubahan dan karena berbagai proses yg mempengaruhi budaya mereka termsuk akulturasi budaya.
Saya ingin nulis tentang bahasa jawa, khususnya jawa "Bandhek" yang kebanyakan disalah artikan dan atau sengaja ada yg menyelewengkan maksud katanya demi tujuan tertentu . Di Blog atau di berbagai situs yang membahas varian bahasa jawa sepertinya banyak yang keliru mengartikan varian bahasa jawa yang satu ini. Ada yang mengelompokan bahasa jawa "Bandhek" ini sebagai kelompok bahasa ngapak, ada yang mengelompokan kedalam kelompok bahasa jawa timuran, ada yang mengartikan sebagai jawa pesisir dan yang lebih parah lagi,dalam tulisanya, mengelompokan sebagai bahasa jawa "orang pesuruh" atau budak dijaman kerajaan yg turun temurun digunakan masyarakat jawa pinggiran hingga sekarang seperti yang diangkat oleh Wikipedia. Kesalahan dalam mengartikan jawa "Bandhek" jadi terkesan merendahkan, bagi masyarakat jawa berdialek tertentu oleh sesama masyarakat jawa berdialek lain yang pada dasarnya dari akar yang sama. Kita semua tahu bahwa variasi bahasa jawa memang banyak. Secara garis besar atau ringkasnya, bahasa jawa bisa dibagi kedalam tiga varian bahasa yaitu bahasa jawa bagian timur, jawa bagian tengah dan jawa bagian barat yang semuanya sebenarnya telah mengalami perubahan dari bahsa aselinya yaitu bahasa 'Kawi'_yang sekarang sebagian besar masih digunakan oleh masyarakat jawa bagian tengah dan bagian barat seperti di daerah Bumiayu, Tegal, Brebes dan_ sekitarnya akibat proses akulturasi budaya. Masyarakat jawa dibagian timur mengalami proses akulturasi budaya dengan masyarakat madura,osing,tengger sehingga menghasilkan dialek jawa timuran yang bisa dilihat dg cara mengucapkan huruf dalam bahasa jawa seperti 'O' di ucapkan 'U', 'A' jadi 'O', 'I' jadi 'e' dan sebaliknya 'e' jadi 'i' dst. Maka didaerah yg termasuk dalam pengaruh ini sering terdengar huruf "O" seperti; "opo" yang menurut bahasa jawa aselinya/kawi "apa", "Jawa" akan diucapkan "jowo", "susila" akan diucapkan "susilo" dst. daerah yg termasuk dalam pengaruh akulturasi budaya madura ini adalah Jawa Timur dan Jawa Tengah bagian Timur yg meliputi Jogja, solo, semarang, hingga ketimur yg secara administratif masuk dalam wilayah jawa timur. Sedangkan "jawa tengahan" yang sering disebut sbg kelompok bahasa jawa "ngapak" yang meliputi daerah kebumen, Banjarnegara,Pemalang,Banyumas,Tegal,Brebes,Cilacap. Jawa 'Ngapak' ini sebenarnya bukan termasuk dalam kelompok jawa "Bandhek" seperti yang banyak orang bilang dan tulis. Menurut para pakar bahasa, sebagai bagian dari bahasa Jawa maka dari waktu ke waktu, bahasa "Ngapak" atau Bahasa Banyumasan mengalami tahap-tahap perkembangan sebagai berikut: Abad ke-9 - 13 sebagai bagian dari bahasa Jawa kuno Abad ke-13 - 16 berkembang menjadi bahasa Jawa abad pertengahan Abad ke-16 - 20 berkembang menjadi bahasa Jawa baru Abad ke-20 - sekarang, sebagai salah satu dialek bahasa Jawa modern. (Tahap-tahapan ini tidak berlaku secara universal) Tahap-tahapan perkembangan tersebut sangat dipengaruhi oleh munculnya kerajaan-kerajaan di pulau Jawa yang juga menimbulkan tumbuhnya budaya-budaya feodal. Implikasi selanjutnya adalah pada perkembangan bahasa Jawa yang melahirkan tingkatan-tingkatan bahasa berdasarkan status sosial. Tetapi pengaruh budaya feodal ini tidak terlalu signifikan menerpa masyarakat di wilayah Jawa bagian tengah yang kebanyak menggunakan bahasa "Ngapak" atau Banyumasan. Itulah sebabnya pada tahap perkembangan di era bahasa Jawa modern ini, terdapat perbedaan yang cukup mencolok antara bahasa Jawa bagian tengah dengan bahasa Jawa standar sehingga di masyarakat jawa bagian tengah timbul istilah "bandhekan" untuk merepresentasikan gaya bahasa Jawa standar, atau biasa disebut bahasa wetanan (timur). Ada banyak kekeliruan mengenai jawa "bandhek" diutarakan oleh banyak orang bahkan oleh seorang pakar budaya & bahasa jawa tengahan atau 'ngapak' atau Banyumasan, M. Koderi. Menurut beliau, kata bandhek secara morfologis berasal dari kata gandhek yang berarti pesuruh (orang suruhan/yang diperintah), maksudnya orang suruhan Raja yang diutus ke wilayah Banyumasan. Para pesuruh ini tentu menggunakan gaya bahasa Jawa standar (Surakarta / Yogyakarta) yang memang berbeda dengan bahasa Banyumasan. Ini salah besar dan yang ingin saya tekankan bahwa bahasa jawa " Bandhek" atau bandhekan tidak berhubungan dengar arti dari sebuah kata "gandhek" yang menjadi dasar dari kata "Bandhek". Akan tetapi merupakan sebuah istilah untuk orang2 yang berbahasa jawa yang tidak bisa/mampu melafalkan huruf "D" seperti pada umumnya masyarakat jawa yang biasanya dilafalkan oleh orang sunda yang tidak bisa mengucapkan huruf "D" ketika berbahasa jawa. seperti dalam pengucapan kata "Medal" (keluar) yang diucapkan oleh orang jawa akan berbeda cara melafalkan huruf "D"-nya jika diucapkan oleh orang sunda, maka akan jadi "Medal" seperti "D" dalam kata "Medhali" atau " Dodhol". Jadi, "D" yang diucapkan oleh orang jawa dengan "D" yang diucapkan orang sunda berbeda. Perbedaan huruf/suara "D" yang dicapkan oleh orang jawa dan sunda berkaitan dengan cara mengeluarkannya atau berkaitan dengan 'makhorijul hurufnya' kalau dalam istilah tajwid mah . "D" yang diucapkan orang sunda cara mengeluarkanya dengan menempelkan ujung lidah ke langit2 bagian mulut kita sedang "D" yg diucapkan orang jawa dikeluarkan dengan menggunakan lidah atas bagian tengah yg ditempelkan ke langit2 mulut dan inilah yang sebenranya yang melatarbelakangi terjadinya istilah "Bandhek". Nah, Kita semua sudah tahu, kan, apa itu "Bandhek"? . Maka dapat kita simpulkan bahwa bahasa jawa "Bandhek" merupakan hasil akulturasi budaya masyarakat jawa dibagian barat_yang scr administratif masuk dalam wilayah jawa barat_dengan masyarakat sunda yang hidup berdampingan scr harmonis dengan masyarakat jawa. Wilayah yang menggunakan bahasa jawa "Bandhek" ini adalah Cirebon dan Indramayu serta Karawang bagian utara atau pesisir. Kita semua tahu bahwa orang jawa itu pandai menyesuaikan diri atau beradaptasi, pandai menghargai orang lain, meski tinggi jumlahnya atau mayoritas dalam suatu wilayah atau tempat akan tetapi mereka tetap memiliki kemampuan untuk tetap menghormati orang lain. Berdasarkan fakta sejarah bahwa wilayah pesisir utara daerah jawa barat seperti Cirebon dan Indramayu dahulu dibuka oleh seorang utusan dari Majapahit yang bernama Raden Arya Wiralodra bersama pengikutnya. Karena hidup didekat daerah yang berpenghuni suku sunda, pasti akan bertemu dg masyarakat sunda dan lama kelamaan akan terjadi pertemuan adat atau budayanya juga. Masyarakat sunda yg mendengar kebesaran dan luasnya wilayah kekuasaan raja2 ditanah jawa beruasaha menghormati dan menghargai orang jawa yang datang ke wilayah yang berdekatan dengan wilayah mereka dengan menggunakan bahasa orang jawa namun itu tadi, tidak bisa melafalkan huruf "D" dengan sempurna. Begitu juga orang jawa yang suka bergaul dan terbuka serta memiliki kamampuan beradaptasi dan mau menghargai orang lain, tetap menghormati dan menghargai usaha orang sunda yang mau berusaha menggunakan bahsa jawa meski tidak bisa sempurna dengan mengikuti cara orang sunda mengucapkan bahasa jawa, akhirnya timbulah dialek jawa "Bandhek" Diringkas lagi, kalau sekarang ada yg mengaku "Saya orang Jawa Murni" itu bohong karena seluruh jawa diwilayah manapun dizaman sekarang telah mengalami perubahan dan karena berbagai proses yg mempengaruhi budaya mereka termsuk akulturasi budaya.